Ezer Kenegdo


Leave a comment

Amsal 17:6: Mahkota dan Kehormatan

Menurut Firman ini, kita memainkan 2 peran dalam kehidupan ini. Kita adalah mahkota bagi orang tua kita dan merupakan suatu kebanggaan/kehormatan bagi anakanak/ penerus-penerus kita.
Lidia selalu disindir teman sekolahnya. Sebagus apa pun pakaian, sepatu, ataupun tas sekolah yang dipakainya, semuanya selalu dicibir oleh teman-temannya sebagai barang haram. Sebenarnya Lidia bukanlah seorang koruptor, tetapi ayahnya dikenal sebagai koruptor besar sehingga bisa membelikan apa pun yang diminta Lidia.
Benih kehancuran seorang anak bisa diwariskan dari nenek moyangnya. Keluarga yang broken home sering terjadi karena ada “warisan” broken home dari generasi sebelumnya. Sebaliknya, keberhasilan seorang anak juga bisa diwariskan dari nenek moyangnya. Penulis Amsal 17:6 mengamati bahwa ada semacam hubungan sebab-akibat dalam kehormatan keluarga. Dikatakan bahwa kehormatan anak-anak adalah nenek-moyangnya, dan mahkota orang tua adalah anak cucunya. Artinya, seorang anak bisa dihormati oleh komunitasnya karena orang tua mereka adalah pribadi yang dihormati oleh masyarakat. Sebaliknya, kakek nenek atau orang tua bisa dihujat gara-gara perbuatan tercela dari anak cucunya.
Kehormatan keluarga kita yang sekarang ini merupakan dampak dari generasi sebelum kita, dan kualitas keluarga kita sekarang akan berdampak pada generasi mendatang. Jadi, supaya bangunan kehormatan keluarga ini kokoh dan harmonis, fondasinya harus dibangun mulai dari kakek-nenek dan orang tua. Bila kita menjadi pribadi terhormat saat ini, kehormatan kita itu akan menjadi warisan kehormatan untuk anak cucu kita kelak.
Oleh karena itu, pendidikan iman oleh orang-tua sudah harus mulai sejak usia anak-anak (bnd: Kehidupan Timotius yang sudah dididik neneknya Lois dan ibunya Eunike, sehingga iman Timotius betumbuh dengan baik). Ia mulai dengan kebiasaan, bahwa anggota-anggota keluarga saling membantu, supaya dapat tumbuh di dalam iman melalui kesaksian hidup yang sesuai dengan Injil. Katekese keluarga mendahului semua bentuk pelajaran iman yang lain, menyertainya dan memperkayanya. Orang-tua menerima pengutusan Tuhan untuk mengajar anak-anaknya berdoa dan mengajak mereka menemukan panggilan mereka sebagai anak-anak Allah. Sehingga terwujud suatu keluarga yang saling mengasihi, atau harmoni keluarga yang berbahagia.
Orang-tua harus memandang anak-anaknya sebagai anak-anak Allah, dan menghormati mereka sebagai pribadi-pribadi manusia. Mereka mendidik anak-anaknya agar mereka mematuhi hukum Allah, dengan cara mereka pertama sekali yang patuh kepada kehendak Bapa di surga. Keteladanan ini yang akan diiukuti oleh anak-anaknya di rumah, jika fondasi ini sudah kokoh maka kita akan mendapatkan generasi penerus yang baik pula.


Leave a comment

Renungan hari Kamis, 4 September 2014: Yesus datang untuk menyelamatkan

Yohanes 12:47: Dan jikalau seorang mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, Aku tidak menjadi hakimnya, sebab Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya.

John 12:47: And if any man gives ear to my words and does not keep them, I am not his judge: I did not come to be judge of the world but to give salvation to the world”.

Manusia sering sekali melihat kesalahan orang lain dan setelah itu menghakiminya, tetapi Yesus datang bukan untuk menghakimi dunia melainkan untuk menyelamatkan. Cara bekerja Allah adalah Allah terlebih dahulu menawarkan pengampunan-Nya, baru menjalankan penghakiman dan penghukuman-Nya. Dia mengasihi orang-orang berdosa dan siap memulihkan hidup orang berdosa.

Mendengar dan melakukan firman Tuhan adalah dua hal yang berbeda, namun hendaknya dalam hidup kita keduanya berjalan beriringan (kita mau mendengar dan melakukannya). Dalam Surat Yakobus dinyatakan, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan menjadi pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri”. Oleh sebab itu, Berbahagialah orang yang mendengar Firman Tuhan dan melakukannya. Ada kebahagiaan (sukacita) yang penuh dalam hati manusia ketika ia mau mendengar dan melakukan firman-Nya. Sebab ia akan mengasihi orang lain dan tidak lagi hanya melihat-lihat kesalahan dan menghakimi sesamanya.

Selamat pagi, selamat beraktifitas dan hiduplah dengan kasih, jangan menghakimi supaya kita juga tidak dihakimi.


Leave a comment

Khotbah Bona Taon Parsahutaon Dos Roha Pasar Impres-Jelambar

Evangelium:  Galatia 6:2 : Bertolong-tolonganlah kamu dalam mennggung beban

Bagaimanakah kita mengukur hidup kita ini ? ukuran apa yang kita pakai untuk mengukur arti hidup atau keberhasilan di dalam hidup kita? Ukuran yang sering dipakai manusia untuk mengukur keberhasilan di dalam hidup adalah “apakah yang sdh ia miliki/ raih dalam hidupnya ? apakah sdh memiliki atau belum ! kalau orang Batak mengukur keberhasilan dengan 3 H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon).

Tetapi bagi Tuhan Yesus bukan itu ukuran bagi hidupNya, Tuhan Yesus tidak memiliki apa-apa, ia hanya seorang anak dari keluarga sederhana/anak tukang kayu, dan ketika pelayananNya di dunia ini Ia selalu berpindah-pindah tempat, semua desa/kota Ia kunjungi dan Ia tidak pernah membawa bekal. Itu sebabnya Tuhan Yesus pernah berkata: “Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya”). Oleh sebab itu, ukuran yang dipakai Tuhan Yesus bukanlah apa yang sudah Ia miliki, namun memberi.

Kalau kita membaca di 4 Injil semua memberitahukan bagaimana gaya hidup Yesus, yaitu hidupnya selalu memberi:

  • Yesus memberi pengakuan kepada Zakheus (ketika orang banyak menolak Zakheus karena pekerjaannya sebagai pemungut cukai, Yesus memberi pengakuan).
  • Yesus memberi harga diri kepada seorang perempuan samaria yang bekerja  sebagai pekerja seks.
  • Yesus memberi pelepasan dari rasa bersalah, kepada seorang perempuan yang akan dilempari batu karena kedapatan melakukan perzinahan.
  • Yesus memberi makan 5000 orang makan
  • Yesus memberi koreksi kepada seorang Farisi yang selalu bersikap munafik dan menganggap diri benar, Yesus memberi kesembuhan bagi orang sakit, Yesus memberi keampunan bagi orang berdosa.
  • Jadi Yesus mengukur hidup bukan dengan ukuran bagaimana mendapat faedah untuk hidup kita, melainkan bagaimana memberi faedah dari hidup kita.

Namun bukan berarti kita dilarang untuk menerima. Dua segi kasih yaitu menerima dan memberi, Tuhan Yesus sendiri pernah menerima :

  • Yesus menerima kasih yang ditunjukkan oleh seorang perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu  yang sangat mahal
  • Yesus menerima jamuan makan yang disediakan oleh Marta ketika Yesus berkunjung ke rumah Marta
  • Yesus menerima pertolongan Simon Kirene untuk memikul salib, ketika Yesus memikul salib menuju Golgata
  • Yesus menerima dari seorang anak kecil 5 roti dan 2 ikan, lalu memberi makan 5000 orang

Oleh sebab itu, semua manusia harus mau menerima dan memberi: manusia yang tidak mau menerima disebut Autarki (manusia yang sombong yang menganggap dirinya sanggup dalam segala hal sehingga tidak memerlukan bantuan dari orang lain). Sebaliknya manusia yang tidak mau memberi, disebut manusia yang egois/kikir.

Itu sebabnya dalam pelayananNya Yesus berkata: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”. Kalimat ini adalah pemahaman Yesus sendiri mengenai misi atau tugas dan tujuan kedatanganNya ke bumi ini, yaitu untuk memberi hidup, bahkan hidup dalam segala kelimpahan.  Di dalam bahasa Inggris “hidup yang  berkelimpahan”  yaitu  Life in its fullness”  artinya hidup dalam segala kepenuhannya, hidup yang sepenuh-penuhnya. Arti lebih dalam : bukan hanya hidup yang berkelimpahan secara material, tetapi juga hidup yang sejahtera, hidup yang bermakna, hidup yang bermartabat, hidup yang  sungguh-sungguh hidup, bukan sekedar hidup, namun hidup yang beruah.

Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu,  sebuah seruan mengajak semua anggota parsahutaon ini untuk saling memberi kasih kepada orang yang membutuhkan uluran tangan dan pertolongan kita. Artinya kita berbuat amal kasih bukan karena kebutuhan kita, melainkan karena sesama dan saudara yang membutuhkan.   Mengapa kita harus bertolong-tolongan ?   Karena Allah telah terlebih dahulu menopang kita, menolong kita.  Hari demi hari Ia menanggung bagi kita. Ia juga mengangkat kita dari lumuran ketololan dan kejahatan,  dari lumpur kesusahan yang dangkal atau yang dalam.

Hidup yang mau bertolong-tolongan adalah salah satu bukti pertumbuhan rohani seorang Kristen,  kedewasaan rohani bukan diukur  dari banyaknya informasi  Alkitabiah dan doktrin yang  diketahuinya, namun dari perbuatan yang baik.

Pada kesempatan ini kami dari pelayan GKPI Jelambar mau memberitahu salah satu program gereja ini adalah mau membimbing warga jemaatnya menjadi “orang Kristen kelas dunia bukan orang Kristen duniawi”. Arti dari orang Kristen kelas dunia adalah orang Kristen yang mengetahui bahwa mereka diselamatkan untuk melayani dan mereka diciptakan untuk suatu misi.  Oleh sebab itu,  gereja ini nanti akan mengadakan kebaktian Paskah bersama (pada bulan April ini)  yang juga terbuka untuk semua orang Kristen (non GKPI) yang ada disekitar Jalan Anyar, termasuk juga bapak/ibu yang menjadi anggota parsahutaon ini. Program ini akan terus berjalan pada kebaktian-kebaktian berikutnya dengan membahas tema-tema tertentu. Tentu saja bertujuan untuk menumbuhkan rasa persaudaraan walaupun bukan satu gereja. Jadi jika pelayan GKPI nanti menyampaikan undangan kebaktian bersama kepada bapak/ibu agar tidak terkejut.

Menjadi orang Kristen kelas dunia, membuat kita tidak hanya memperhatikan kepentingan diri kita sendiri, tapi juga kepentingan orang lain. Bagaimana caranya ?

Pertama: Mendoakan semua orang diluar dari diri kita/keluarga kita. Orang mungkin bisa menolak kasih dan pesan kita, tetapi mereka tidak berdaya melawan doa-doa kita. Kita bisa mendoakan para pemimpin kita, para missionaris yang mengabarkan Injil di daerah pedalaman, orang-orang yang akan percaya, orang-orang yang lemah dan teraniaya dan lain sebagainya.

Kedua: Melakukan penginjilan eloktronik.  Mungkin factor  waktu dan tempat membuat kita tidak bisa pergi untuk mengabarkan kabar sukacita (Injil Kristus), namun dengan penginjilan elektronik kita bisa berada di negara lain untuk menyampaikan kabar sukacita tersebut. Dengan internet kita bisa berkomunikasi secara pribadi dengan orang-orang di negara lain, sehingga tidak salah kalau dikatakan “seluruh dunia ini ada di ujung jari kita”.

Kebaktian bona taon biasanya dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas penyertaan Tuhan di tahun sebelumnya. Mengucap syukur bukan hanya  karena kita mendapatkan hadiah, uang, kesembuhan, keberuntungan. Namun kita harus bersyukur karena kita sudah diampuni, karena kita masih diberi kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik.

Menerima suatu pemberian yang indah, padahal sebenarnya kita tidak berhak menerimanya, itulah anugrah. Kita yang pantas dihukum justru kita mendapat kasih dan pengampunan dari Allah, kita yang pantas ditolak justru dirangkul Allah, itulah anugrah. Allah memberi hidup bukan karena manusia berhak menerimanya, melainkan Allah memberinya sebagai anugrah. Itulah yang diperlihatkan oleh Tuhan Yesus dalam setiap perbuatannya. Inilah yang memotivasi kita untuk saling bertolong-tolongan menanggung beban, bukan saling menggigit.

Kita tidak boleh serakah, dan kita tidak boleh terlalu kuatir akan hidup ini, karena Tuhan tetap akan memberi anugrahNya, bukan hanya untuk kebutuhan hidup hari ini dan besok, namun Tuhan juga menganugerahkan hidup yang kekal.

Ada sebuah cerita yang ditulis oleh Leo Tolstoy (Pengaran Rusia), menceritakan ada seorang bapak yang akan membeli sebidang tanah yang luas, lalu ia menjumpai seorang pemilik tanah yang luas. Ia berkata, “berapa hektar yang boleh saya beli ? Lalu pemilik tanah menjawab, “berapa saja boleh sekuat tenagamu. Mendengar ini bapak yang mau membeli tanah tersebut terkejut, “Lho, koq sekuat tenaga, maksudnya apa ? Sang pemilik tanahpun bekata, “Ya kamu boleh membeli tanah seluas yang bisa kamu kelilingi. Kamu lari dari sini, keliling lembah-lembah dan bukit-bukit itu, sebelum matahari terbenam kamu harus sudah kembali lagi kesini. Kalau kamu mengelilingi 40 ha, kamu dapat membeli 40 ha, kalau kamu dapat 50 ha kami bisa beli 50 ha. Bapak yang mau membeli tanah pun berpikir, “waduh 50 ha, itu berarti 500 ribu meter persegi, tahun depan harga bisa naik dua kali lipat”.

Tanpa membuang waktu, pembeli tanah itu mulai berlari, turun lembah, naik bukit, lari terus. Dia sudah letih, namun terus berlari. Makin jauh aku berlari maka makin luas tanah yang kubeli. Kapan lagi pikirnya. Akhirnya ketika matahari hampir terbenam, ia terhuyung-huyung tiba di tempat si empunya tanah. Dengan terengah-engah karena kecapekan ia berkata, “aku dapat 500 ribu meter persegi”. Tapi seketika itu juga ia roboh, nafasnya habis, ia mati. Apakah ia mendapatkan tanah itu? Iya dapat ! tapi bukan 50 ha (500 ribu meter persegi), tetapi hanya 2 meter persegi  (panjang 2 meter, lebar 1 meter pas untuk menguburkannya).

Cerita Leo Tolstoy ini ingin mengajak kita untuk tetap mensyukuri akan apa yang sudah kita terima dan tidak boleh terlalu tamak.  Berkat yang harus kita syukuri bukan hanya karena keberuntungan, kesehatan, kesuksesan. Namun mensyukuri keselamatan yang telah diberikan Tuhan Yesus melalui kematianNya, dengan cara meneladani apa yang diperbuat Yesus, salah satunya yaitu bertolong-tolongan. Amin.